Selamat Datang dan Terimakasih Anda Berkunjung di Blog Kami. Saran dan Kritik Sangat Kami Harapkan Demi Perbaikan Blog Yang Sederhana Ini

Cari Dollar Yuk klik link di bawah ini

Senin, 14 Maret 2011

Kumpulan Cerita Rakyat

DEWI NAWANG WULAN
(Cerita Rakyat Jawa Tengah)
 

Alkisah di pinggiran sebuah desa hiduplah seorang janda yang disebut Nyi Randa Tarub. Sebenarnya dia tidak bernama demikian, sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa, karena ia tinggal di Desa Tarub dan orang tak tahu namanya maka ia disebut dengan nama desa dimana dia tinggal. Nyi Randa Tarub mempunyai seorang putera yang dipanggil pula dengan nama JAKA TARUB.
Menurut riwayatnya, Jaka Tarub bukanlah anak kandung janda itu. Dia adalah anak dari seorang putri Bupati Tuban yang bernama Dewi Rasawulan. Jaka Tarub diasuh oleh Nyi Randa Tarub sejak masih bayi, dan memang dia tak mempunyai seorang anak pun dari ketika suaminya masih ada hingga meninggal dunia.
Setelah meningkat dewasa, Jaka Tarub telah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan. Ia gemar sekali berburu binatang dengan menggunakan sumpitan.
Hari itu seperti biasanya, pagi-pagi sekali Jaka Tarub sudah berjalan menyusuri hutan dimana dia sering berburu. Namun sampai setengah harian Jaka Tarub menjelajahi hutan, tak seekorpun hewan buruan tampak.
Ketika Jaka Tarub duduk melepaskan lelah, rasa kecewa telah membuatnya letih. Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara beberapa wanita. Dengan ragu-ragu Jaka Tarub beranjak berdiri dan melangkah mencari arah datangnya suara itu.
Dan akhirnya Jaka Tarub menjadi tertegun melihat apa yang ada di hadapannya. Empat orang gadis tengah mandi di sebuah telaga kecil yang terdapat di tengah hutan itu. Jaka Tarub keheranan melihat semua itu.
“Semua gadis-gadis itu cantik. Apakah peri penunggu hutan? Ataukah mereka bidadari yang turun dari kahyangan? Mungkin juga!” pikir Jaka Tarub.
Pemuda itu terus memperhatikan gadis-gadis yang tengah asyik mandi di air telaga. Tiba-tiba matanya melihat onggokan pakaian yang terletak di tepi telaga. Di dalam benaknya timbul keinginan untuk menyembunyikan pakaian itu.
Sebenarnya Jaka Tarub sendiri tak tahu, punya maksud apa dirinya berbuat demikian? Pikiran nakal itu tiba-tiba saja muncul di otaknya. Dengan mengendap-endap ia mengambil salah satu dari onggokan pakaian itu.
“Adik-adik, hari segera gelap. Mari kita kembali ke kahyangan!” kata salah satu gadis itu yang tak sadar bahwa seperangkat pakaian mereka telah dicuri orang.
Jaka Tarub yang mendengar ucapan mereka itu menjadi yakin dengan dugaannya, bahwa mereka itu adalah para bidadari.
Para bidadari itu segera berpakaian dan bersiap-siap akan kembali ke kahyangan. Tapi salah seorang diantaranya yang merasa kehilangan pakaiannya menjadi panik.
“Hilang? Bagaimana mungkin? Ayo kita cari!” kata bidadari yang lain. Dengan segera ketiga bidadari itu ikut mencarikan pakaian yang hilang itu. Sementara Jaka Tarub memperhatikan kebingungan keempat putri cantik itu dari balik semak-semak.
Hingga akhirnya. “Oh ...... hari sudah demikian sore. Kita tak dapat tinggal lebih lama lagi di mayapada. Kita harus cepat-cepat kembali!” kata salah satu bidadari itu.
“Tapi ...... bagaimana dengan diriku?” tanya Nawang Wulan, bidadari yang telah kehilangan pakaiannya. “Kami tak dapat berbuat apapun, Adik ...... kau terpaksa kami tinggalkan.”
Tubuh ketiga bidadari itu melambung ke angkasa, meninggalkan seorang temannya yang meratap kebingungan. Jerit dan rintihan Nawang Wulan tak dihiraukan oleh ketiga temannya yang terus melayang ke angkasa hingga lenyap di balik awan.
Nawang Wulan hanya bisa menangis menyesali nasibnya, dan kemudian muncullah Jaka Tarub mendekatinya. Betapa terkejutnya Nawang Wulan melihat kehadiran Jaka Tarub. Tapi  akhirnya dengan terpaksa menceritakan apa yang sudah terjadi, yang sebenarnya sudah tak perlu lagi bagi Jaka Tarub, karena semuanya telah disaksikan oleh pemuda itu.
“Oh, sungguh malang nasibmu ..... aku bermaksud menolongmu, kalau kau menerimanya,” kata Jaka Tarub. Rasanya memang tak ada jalan lain bagi Nawang Wulan, selain menerima uluran tangan pemuda itu. Maka akhirnya Dewi Nawang Wulan mengikuti Jaka Tarub untuk tinggal di rumah Nyi Janda Tarub.
Hari-hari berlalu Jaka Tarub pada akhirnya memperistri Dewi Nawang Wulan. Dan tidak sampai berjalan satu tahun Dewi Nawang Wulan melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Nawangsih.
Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan hidup dengan bahagia. Tetapi justru pada suatu hari terjadi peristiwa yang merupakan sebuah permulaan malapetaka.
“Kakang Jaka, aku sedang menanak nasi tolong kau jaga. Nawangsih buang air, aku akan membersihkannya ke sungai. Dan jangan kau buka tutup kukusan itu!” kata Nawang Wulan berpesan kepada suaminya, yang kemudian melangkah menuju sungai. Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub sedikit terheran dengan pesan itu. Rasa herannya menjadi rasa ingin tahu. Perlahan-lahan dibukanya tutup kukusan itu. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub ketika mengetahui isi dalam kukusan itu, ternyata setangkai padi.
Jaka Tarub terus diliputi rasa keheranan. Selama ini padi di lumbungnya memang seperti tak pernah berkurang. Mungkin itu sebuah ilmu yang dibawa istrinya dari kahyangan. Menanak setangkai padi, cukup dimakan untuk satu keluarga, pikir Jaka Tarub.
Setelah kembali dari sungai, Dewi Nawang Wulan tahu bahwa suaminya telah membuka tutup kukusan itu, ia menjadi terkejut dan marah. Ia menyesali atas kelancangan suaminya, yang telah melanggar pesannya untuk tidak membuka tutup kukusan itu hingga kesaktiannya musnah.
“Sekarang aku harus bekerja keras ..... ! Aku harus menumbuk padi! Untuk itu kau harus buatkan aku peralatan guna menumbuk padi .... “ kata Dewi Nawang Wulan dengan lesu.
Sejak saat itu, Dewi Nawang Wulan harus menumbuk padi dan menampinya. Jaka Tarub menyesal karena kelancangannya itu istrinya harus bekerja keras.
Karena setiap hari harus ditumbuknya, maka padi dalam lumbung yang biasanya tidak habis dimakan dalam masa sekian belas panen, kini tentu saja cepat menjadi susut. Dan pada suatu hari, ketika Dewi Nawang Wulan mengambil padi dalam lumbung, pandangannya menatap sebuah benda. Benda itu diambilnya dan alangkah terkejutnya ketika ia mengetahui benda itu.
“Oh, pakaian! Ini pakaianku yang hilang ketika aku mandi di telaga dalam rimba itu dulu .... apa kakang Jaka yang mengambilnya? Tapi kenapa ia pura-pura tak tahu?”
Dewi Nawang Wulan segera mengenakan pakaian itu. Yang memang pas di tubuhnya.
Sementara itu Jaka Tarub terheran-heran, kenapa istrinya demikian lama berada di lumbung padi. Dan lebih heran lagi ketika Dewi Nawang Wuan muncul dengan wujud lain. Wujud seorang bidadari!
“Kakang Jaka .... aku mohon pamit akan kembali ke kahyangan!” kata Dewi Nawang Wulan tiba-tiba. Jaka Tarub menatap istrinya dengan pandangan kosong. Ia menyadari apa yang telah terjadi.
“Dewi .... tunggu dulu? Memang aku salah ...., tapi kuminta maafmu! Lagi pula kau harus ingat akan anak kita!”
Kau telah menipuku sekian lama, Kakang! Apa kira kakang akan dapat berbuat demikian selamanya? Aku memang tak sampai hati meninggalkan Nawangsih. Tapi ... aku terpaksa,” Dewi Nawang Wulan menunduk lesu.” Namun demikian, aku akan tetap menjalankan kuwajibanku, Kakang .... anak itu masih belum lepas menyusu padaku, maka setiap malam aku akan datang. Kau buatkan dangau dekat pondok kita ini dan taruhlah Nawangsih disana, setiap malam aku akan datang untuk menyusuinya ...... dan harus kau ingat pula, selama aku menyusui kau tak boleh mendekati dangau itu!”
“Oh, Nawang Wulan! Apa hal ini tak dapat dibicarakan dengan baik-baik?” Jaka Tarub mencoba menahan istrinya. Dewi Nawang Wulan hanya menggelengkan kepala, ia mengambil Nawangsih yang dalam gendongan Jaka Tarub. Diciumi anak itu dengan berurai air mata.
“Tidak, Kakang ..... kodratku adalah sebagai bidadari dan aku harus kembali ke kahyangan.”
Dengan hati teriris Jaka Tarub menyaksikan istrinya terbang ke angkasa. Dewi Nawang Wulan melambaikan tangannya sampai hilang di balik awan.
Setelah kejadian itu, Jaka Tarub segera memenuhi permintaan istrinya untuk mendirikan dangau dekat pondoknya. Dan semenjak itu setiap malam dia melihat Dewi Nawang Wulan datang menyusui anaknya dan bercengkerama sampai anak itu tertidur.
Demikianlah kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawang wulan. Ada versi lain dari kisah ini yang menceritakan bahwa Dewi Nawang Wulan tidak diterima menetap di kahyangan sebagai seorang bidadari, karena sudah menikah dengan manusia dan melahirkan bayi manusia, maka ia sudah dianggap menjadi manusia. Dia kemudian disuruh pergi dan supaya menempati lautan sebelah selatan tanah Jawa. Dewi Nawang Wulan menjelma jadi Nyai Rara Kidul. Sampai saat ini, kesaktian Nyai Rara Kidul sebagai ratu penguasa lautan Selatan masih dipercayai orang.
Dan Dewi Nawangsih setelah dewasa akhirnya menikah dengan seorang bernama Lembu Peteng atau Bondan Kejawan putra raja Brawijaya dari Majapahit.

***

LEGENDA DANAU TOBA
(DONGENG RAKYAT SUMATRA UTARA)

Pada zaman dahulu ada seorang petani bernama Toba yang menyendiri di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan sawah dan ladang untuk keperluan hidupnya.
Selain mengerjakan ladangnya, kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ikan ke sungai yang berada tak jauh dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. Ikan hasil pancingannya dia masak untuk dimakan.
Pada suatu sore, setelah pulang dari ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi sudah cukup lama dia memancing tak seekor ikan pun didapatnya. Kejadian yang begitu belum pernah dia alami. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama tak ada juga ikan yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing. Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancing itu jauh ke tengah sungai. Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar. Setelah beberapa lama dibiarkan pancingnya ditarik ikan itu ke sana kemari, barulah pancing itu ditariknya perlahan-lahan.  Ketika pancing itu disentakkannya tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu. Pada saat dia sedang melepaskannya mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun masuk ke dalam sungai untuk mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum sambil membayangkan betapa enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketika dia meninggalkan sungai untuk pulang ke rumahnya hari sudah mulai senja. Setibanya di rumah, lelaki itu langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia hendak menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya sudah habis. Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya. Kemudian, sambil membawa beberapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur.
Pada saat lelaki itu tiba di dapur, dia terkejut sekali karena ikan besar itu sudah tidak ada lagi. Tetapi di tempat ikan itu tadi diletakkan tampak terhampar beberapa keping uang emas. Karena terkejut dan heran mengalami keadaan yang aneh itu, dia meninggalkan dapur dan masuk ke kamar.
Ketika lelaki itu membuka pintu kamar, tiba-tiba darahnya tersirap karena di dalam kamar itu berdiri seorang perempuan dengan rambut yang panjang terurai. Perempuan itu sedang menyisir rambutnya sambil menghadap cermin yang tergantung pada dinding kamar. Sesaat kemudian, perempuan itu tiba-tiba membalikkan badannya dan memandang lelaki itu yang tegak kebingungan di mulut pintu kamar. Lelaki itu menjadi sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri di hadapannya luar biasa cantiknya. Dia belum pernah melihat perempuan secantik itu meskipun dahulu dia sudah jauh mengembara ke berbagai negeri.
Karena hari sudah malam, perempuan itu minta agar lampu dinyalakan. Setelah lelaki itu menyalakan lampu, dia diajak perempuan itu menemaninya ke dapur karena dia hendak memasak nasi untuk mereka. Sambil menunggu nasi masak, diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia adalah penjelmaan dari ikan besar yang tadi didapat lelaki itu ketika memancing di sungai. Kemudian dijelaskannya pula bahwa beberapa keping uang emas yang terletak di dapur itu adalah penjelmaan sisiknya. Setelah beberapa minggu perempuan cantik itu tinggal serumah bersamanya, pada suatu hari lelaki itu melamar perempuan tersebut untuk jadi istrinya. Perempuan itu menyatakan bersedia menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu harus bersumpah bahwa seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal usul istrinya yang menjelma dari ikan. Setelah lelaki itu bersumpah demikian, kawinlah mereka.
Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Samosir. Anak itu sangat dimanjakan ibunya yang mengakibatkan anak itu bertabiat kurang baik dan pemalas.
Setelah cukup besar, anak itu disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksalah ibunya yang mengantarkan nasi ke ladang.
Suatu hari, anak itu disuruh ibunya lagi mengantarkan nasi ke ladang untuk ayahnya. Mulanya dia menolak. Akan tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesal pergilah dia mengantarkan nasi itu. Di tengah jalan, sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Setibanya di ladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, si ayah sudah merasa sangat lapar karena nasinya terlambat sekali diantarkan. Oleh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika melihat nasi yang diberikan kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnya makin bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang memakan sebagian besar nasi itu. Kesabaran si ayah jadi hilang dan dia pukuli anaknya sambil mengatakan: “Anak yang tak bisa diajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”
Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia adukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya dia ceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu. Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari-lari menuju ke bukit tersebut dan mendakinya.
Ketika tampak oleh si ibu anaknya sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas bukit, dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah mereka itu. Ketika dia tiba di tepi sungai itu kilat menyambar disertai bunyi guruh yang menggelegar. Sesaat kemudian dia melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir besar dan turun pula hujan yang sangat lebar. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Pak Toba tak bisa menyelamatkan dirinya,               ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar yang kemudian hari dinamakan orang Danau Toba. Sedang pulau kecil di tengah-tengahnya diberi nama Pulau Samosir.

 ***
 
RAJA YANG CULAS
(CERITA RAKYAT RIAU)

Dahulu kala ada sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Tiangkerarasen. Negeri itu aman dan tenteram karena Sang Raja memerintah dengan bijaksana. Beliau mempunyai beberapa orang putera dan puteri dari seorang permaisuri yang cantik jelita.
Namun ketentraman dan kebahagiaan keluarga itu tak berlangsung lama. Pada suatu hari, raja berjalan-jalan dengan menunggang kuda kesayangannya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita. Setelah berkenalan, raja mengajak gadis itu pulang ke istana. Gadis itu selain cantik ternyata mempunyai perangai yang lembut dan tutur kata yang halus. Raja jatuh cinta dan menikahi gadis tersebut. Tindakan raja ini ditentang oleh permaisuri dan putra-putrinya. Namun raja terlalu mencintai gadis itu.
Setelah beberapa bulan berlalu, gadis yang telah menjadi isteri muda raja itupun hamil. Permaisuri dan putra-putrinya makin marah. Mereka betul-betul menunjukkan sikap benci kepada raja. Putra-putrinyapun sudah berani melawan. Keadaan ini sangat menekan Sang Raja. Lalu terpikir oleh Sang Raja untuk menyingkirkan istri mudanya.
Pada suatu hari Raja mengajak isteri mudanya berjalan-jalan di hutan. Keduanya menyusuri sebuah sungai yang besar dengan sebuah perahu. Ketika sang isteri sedang asyik menikmati pemandangan, tiba-tiba sang raja mendorongnya ke sungai. Istrinya sangat terkejut, lalu berteriak-teriak minta tolong. Sebenarnya hati Sang Raja sangat iba, tetapi apa boleh buat ia ingin mengakhiri hubungannya yang tegang dengan permaisuri dan putera-puterinya.
Sementara itu di hilir sungai seorang pengail melihat perempuan hanyut, ia segera menyelamatkan perempuan itu yang tak lain adalah isteri muda raja Tiangkerarasen.
Bulan berganti bulan tahun berganti tahun. Putera raja yang lahir dari isteri muda telah berangkat remaja. Ibunya memberi nama Aji Bonar. Pemuda itu mempunyai kegemaran bermain gasing dan mengail. Suatu hari ia ingin pergi ke negeri Tiangkerarasen. Sebab, ia mendengar kabar bahwa putra raja Tiangkerarasen suka bermain gasing dengan taruhan. Suatu hari ia bisa bermain gasing dengan putra raja. Gasing Aji Bonar menang, lalu ia membawa ayam jago taruhan ke rumah. Kemenangan gasing Aji Bonar ini membuat putra raja makin penasaran. Lalu ia bertaruh yang lebih besar lagi.
Begitulah taruhan itu terjadi berulang-ulang. Dari taruhan yang kecil-kecil sampai taruhan sebuah rumah yang besar lengkap dengan isinya. Pertandingan inipun dimenangkan Aji Bonar. Kekalahan putera raja yang terus menerus ini tidak membuatnya jera. Justru makin penasaran dan bertekad harus dapat mengalahkan gasing Aji Bonar.
Suatu hari putra raja mengumpulkan seluruh rakyat negeri Tiangkerarasen di gelanggang permainan gasing. Tidak lupa ia mengundang Sang Raja, ayahnya. Setelah semua berkumpul, putra raja berseru:
“Hai rakyatku, hari ini aku mempertaruhkan negeri ini beserta isinya kepada Si Aji Bonar. Jika ia kalah, ia akan mengembalikan seluruh kemenangan yang diperoleh dariku. Jika aku yang kalah maka negeri ini akan kuberikan kepadanya. Ia akan memerintah seluruh negeri ini. Apakah kalian setuju?”
“Setujuuuuuuu!”, jawab yang hadir serentak.
Tak lama kemudian pertandingan dimulai. Seluruh hadirin bersorak-sorai menjagoi pilihan masing-masing. Gasing Aji Bonar berputar-putar cepat sekali dan dengan cepat mematikan gasing putera raja. Sorak-sorai gemuruh menyambut kemenangan gasing Aji Bonar. Hari itu juga Aji Bonar menjadi raja negeri itu.
Beberapa hari kemudian ia menjemput ibunya dengan pasukan kerajaan. Seluruh rakyat menyaksikan iring-iringan itu. Juga putra raja yang kalah bertaruh.  Di sampingnya berdiri Sang Raja semula. Sang Raja merasa sangat malu, sebab putra yang disayangnya telah menggadaikannya. Sedang putra yang dibuang telah menjadi rajanya. Kedua orang itu menyaksikan raja Aji Bonar dengan rasa malu yang tak terhingga.

***

NYAI RATU KIDUL
(CERITA RAKYAT JAWA BARAT)

Nyai Ratu Kidul dipercayai sebagai seorang ratu kidul yang sakti, yang menguasai samudra Indonesia. Di Jawa Tengah, dia juga dikenal dengan nama Nyi Loro Kidul atau Nyi Lara Kidul. Penduduk sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa sampai saat ini masih mempercayai kesaktiannya bahkan di Parang Tritis sebuah obyek wisata, kadang-kadang masih dilakukan upacara yang berkaitan dengan Nyi Lara Kidul. Tentang asal usul dan riwayat Nyi Lara Kidul, ada bermacam-macam versi. Dan yang diceritakan di sini adalah sebuah riwayat yang berasal dari daerah Jawa Barat.
Konon di kerajaan Pajajaran Purba bertahtalah seorang raja yang bernama Prabu Mundingsari. Baginda dikenal sebagai raja yang berwajah tampan dan bijaksana dalam pemerintahan, hingga dicintai segenap rakyat Pajajaran.  Prabu Mundingsari sangat gemar pergi berburu dengan diiringi tamtama dan pengawal. Tetapi, hari itu baginda tersesat dan terpisah dari para pengawalnya ketika memburu seekor kijang. Prabu Mundingsari mencoba mencari pengawalnya. Tetapi, sesudah menjelajahi rimba itu sampai setengah hari jejak para pengawal itu belum juga tampak, sehingga baginda Mundingsari semakin jauh tersesat. Haripun mulai gelap, baginda bermaksud beristirahat.
Karena lelahnya, baginda Mundingsari tertidur. Dalam keadaan setengah tertidur itu, tiba-tiba merasa ada seseorang berada di dekatnya. Baginda terkejut dan segera terbangun. Di hadapannya telah berdiri seorang gadis yang sangat cantik dan tengah tersenyum padanya. “Oh, siapakah kau ..... ?!” tanya Prabu Mundingsari keheranan.
“Hamba adalah cucu dari raja rimba ini ...... Apakah tuan adalah raja Mundingsari dari Pajajaran?”
“Ya, aku adalah raja Mundingsari. Ada apa kiranya?” “Tuanku tampaknya tersesat dan terpisah dari para pengawal tuanku. Sudilah kiranya tuanku singgah di istana kakekku sambil beristirahat di sana ......”
Karena undangan itu disampaikan dengan ramah dan sopan santun, baginda Mundingsari tidak dapat menolaknya, apalagi orang yang mengundangnya adalah seorang gadis yang sangat cantik. Raja Pajajaran itupun mengikuti si gadis cantik itu.
Tak seberapa lama kemudian sampailah mereka pada istana tempat tinggal gadis itu. Gadis itu segera membawa Prabu Mundingsari masuk ke dalam istana. Mereka disambut oleh seorang raja yang berwajah cukup seram. Tetapi kata-katanya cukup ramah.
“Ah ..... hah ..... hah ..... hah ..... hah .....! Prabu Mundingsari, selamat datang di istanaku walau tak seindah istanamu. Kuharap kau akan betah tinggal disini ....! Cucuku mencintai tuan hingga tiap malam, wajah tuan selalu terbawa mimpi dan bahkan dia jatuh sakit. Soal terpisahmu dari pengawal tuan tersesat di rimba ini, akulah yang mengaturnya ...!”
Prabu Mundingsari merasa heran akan kata-kata raja itu. Dia menoleh pada putri cantik itu yang tampak wajahnya kemalu-maluan.
Karena kecantikan putri itu, lagi pula karena kelemahlembutan putri itu, Prabu Mundingsari segera jatuh hati pada perempuan itu. Kemudian merekapun menikah dan hidup dalam kebahagiaan.
Baginda tinggal beberapa lama bersama istrinya di istana dalam rimba itu. Hingga pada suatu hari ........
“Adinda rasanya sudah cukup lama kakanda meninggalkan istana Pajajaran. Aku hendak menjenguk ke sana dan hendak kulihat bagaimana keadaan rakyatku ...” kata Prabu Mundingsari.
“Baiklah, kakanda! Tetapi sesekali datanglah kakanda menjenguk hamba ...” sahut istrinya dengan sedih mendengar niat Prabu Mundingsari, suaminya itu.
Kemudian, Prabu Mundingsari keluar dari istana menuju Pajajaran.Tetapi kali ini baginda tidak tersesat dan mudah mendapatkan jalan pulang.
Setiba di istana Pajajaran, Baginda disambut dengan isak tangis kegembiraan oleh permaisuri dan seisi istana, karena sudah berbulan-bulan baginda menghilang dalam sebuah perburuan. Kemudian, Baginda kembali menduduki tahta Pajajaran dan memerintah sebagaimana sebelumnya.
Berbulan-bulan kemudian. Pada suatu malam, baginda terjaga dari tidurnya karena mendengar suara tangis bayi ..... Baginda Mundingsari segera bangkit, dan mendatangi sumber suara itu. Maka tampak olehnya sebuah buaian dan di dalamnya terdapat seorang bayi yang tengah menangis.
Baginda segera mendukung bayi yang ternyata seorang bayi perempuan. Tiba-tiba muncul seraut wajah yang dikenalnya sebagai wajah istrinya dari istana di tengah rimba tempo dulu.
“Kakanda Mundingsari, bayi itu adalah anak kita! Dia kuserahkan kepada kakanda untuk kau besarkan di kalangan manusia,” kata istrinya.
“Di kalangan manusia? Apa maksudmu adinda?!” tanya Prabu Mundingsari tak mengerti.
“Sebenarnya bahwa aku dari kalangan siluman .....!” sahut istrinya itu. Baginda Prabu Mundingsari merasa heran dan hanya tertegun sampai beberapa saat. Dia tidak tahu dan tidak menyadari ketika bayangan wajah putri siluman istrinya itu menghilang.
Demikianlah, bayi perempuan itu akhirnya dipelihara di lingkungan istana dan diberi naam RATNA DEWI SUWINDO. Permaisuri baginda Mundingsari merasa tidak senang akan kehadiran Dewi Suwindo di istana Pajajaran. Dia memperlakukannya dengan bengis.
Delapan belas tahun kemudian. Dewi Suwindo tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan sukar dicari tandingannya. Kecantikannya itu terkenal hingga ke negara-negara tetangga. Hal ini semakin membuat tak senang hati sang permaisuri. Apalagi, putrinya tidak secantik Dewi Suwindo. Sementara itu sudah banyak lamaran dari para pangeran yang bermaksud mempersunting Dewi Suwindo. Hati permaisuri semakin geram. Oleh sebab itu, timbul maksud jahatnya untuk menyingkirkan Dewi Suwindo dari istana.
Dalam mewujudkan maksud jahatnya itu, permaisuri segera mendatangi seorang ahli tenung yang terkenal pandai.”Ah, tuanku permaisuri tidak perlu khawatir! Hal itu bukan pekerjaan sukar buat hamba,” kata dukun tenung itu.
“Ingat .... aku inginkan wajah gadis itu rusak. Hingga tak seorangpun sudi memandanginya!” pesan sang permaisuri.
Sepeninggal permaisuri, tukang tenung itu segera melaksanakan permintaan permaisuri. Pada malam harinya, dia mulai menyebarkan ilmunya.
Keesokan harinya Dewi Suwindo bangun dari tidurnya dan merasa tidak enak di sekujur badannya.
“Ah, kepalaku terasa berat sekali. Kulit wajahku pun terasa tebal. Karena merasa ada kelainan pada wajahnya, gadis itu berkaca. Dia sangat terkejut melihat wajahnya dalam kaca yang kini telah berubah menjadi buruk.
“Ah ...... apakah ........ apakah yang berada di dalam cermin itu adalah wajahku? Mengapa jadi demikian?”
Ketika menyadari bahwa wajah yang berada di cermin itu memang betul wajahnya, hati Dewi Suwindo jadi hancur! Dia menangis terus menerus. Kecantikannya sama sekali sudah tak tersisa.
Berhari-hari gadis itu mengurung diri di kamar, dan tidak mau menjumpai orang. Tetapi, atas pemberitahuan sang permaisuri. Prabu Mundingsari akhirnya tahu kalau Dewi Suwindo mengidap penyakit yang berbahaya.
“Ah ....... kau mengidap penyakit lepra, anakku. Penyakit itu adalah salah satu penyakit berbahaya dan dihantui ......Ayahanda merasa menyesal sekali. Tetapi apa boleh buat, kau akan kuasingkan dari istana .......” kata Prabu Mundingsari, ayahnya.
Hati Dewi Suwindo semakin remuk ketika bahkan ayah kandungnya sendiri bermaksud menyingkirkan dan tidak mau berdekatan dengan dirinya. Baginda Mundingsari segera memerintahkan beberapa orang pengawal mengantarkan Dewi Suwindo ke dalam rimba.
Setiba di tepi rimba, para pengawal tidak mau mengantarkannya lebih jauh. dengan hati pilu gadis itu melanjutkan perjalanan ke dalam rimba seorang diri.  Dia masih belum tahu hendak menuju kemana .....! pada akhirnya, Dewi Suwindo tiba di gunung Kombang. Kemudian, dia bertapa di sana dan memohon pada para dewa agar wajahnya dikembalikan sebagaimana sebelumnya.
Bertahun-tahun dia melakukan tapa, tetapi wajahnya bahkan semakin rusak. Tetapi, pada suatu hari, dia mendengar sebuah suara:
“Cucuku, Dewi Suwindo! Kalau kau ingin wajahmu kembali seperti semula, berangkatlah menuju ke Selatan. Kau harus masuk ke laut Selatan dan bersatu dengannya .....! dan tak usah kembali dalam pergaulan manusia!”
Setelah mendengar suara itu, Dewi Suwindo segera berangkat ke arah Selatan seperti yang diperintahkan. Berhari-hari kemudian, tibalah dia di Pantai Selatan. Gadis itu ngeri berada di pantai yang curam dan tajam itu. Tetapi dia percaya akan kata-kata yang didengar dalam tapanya itu, yang dipercaya sebagai petunjuk dari para dewa. Dengan penuh kepercayaan pula Dewi Suwindo terjun ke laut dari tebing yang curam.
Setelah muncul kembali dari dalam air laut, segala penyakit yang menempel pada tubuh Dewi Suwindo telah hilang. Kecantikan Dewi Suwindo kembali pada keadaannya semula bahkan lebih cantik. Menurut kepercayaan penduduk setempat, Dewi Suwindo masih hidup hingga kini dan menjadi Ratu di laut Selatan, ratu dari segala jin dan siluman di sana. Benar atau tidaknya cerita di atas yang jelas penduduk di sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa sampai saat ini masih mempercayai akan kesaktian Ratu Samodra Indonesia itu.

***
LEGENDA BATU MENANGIS
(CERITA RAKYAT KALIMANTAN)

Di sebuah bukit yang jauh dari desa, di daerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus, dan bersolek agar orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan di belakang sambil membawa keranjang dengan pakaian yang sangat dekil. Karena mereka hidup di tempat yang terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu    dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan di belakang anak gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu. “Hai, gadis cantik apakah yang berjalan di belakang itu ibumu?” Namun, apa jawaban anak gadis itu? “Bukan,” katanya dengan angkuh. ”Ia adalah pembantuku!”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekat lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu. “Hai, manis Apakah yang berjalan di belakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya.  “Ia adalah budakku!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang di sepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawaban yang sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu itu berdo’a.
“Ya, Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan hukumlah anak durhaka ini! Hukumlah dia ...”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
“Oh, ibu ... ibu .... ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu .... Ibu .... ampunilah anakmu ....” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat, seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut “Batu Menangis”.
Demikianlah cerita yang berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercayai bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

***
 
PANJI SEMIRANG
(CERITA RAKYAT JAWA TIMUR)

Raden Inu Kertapati adalah putra mahkota kerajaan Jenggala. Tubuhnya tegap wajahnya tampan, ramah kepada siapa saja, termasuk kepada kedua pembantu setianya.
Raden Inu Kertapati sudah ditunangkan dengan seorang putri dari kerajaan Kediri namanya Dewi Candra Kirana.
Pada suatu hari Raden Inu Kertapati bermaksud mengunjungi tunangannya di Kediri, ia diiringi perbekalan lengkap dan iringan pengawal.
Di tengah perjalanan rombongan itu dihadang oleh segerombolan penjahat dari Negeri Asmarantaka yang dipimpin oleh Panji Semirang. Raden Panji bersiap-siap, namun ternyata gerombolan itu tidak menyerang.
Dua orang gerombolan maju mendekati Raden Inu Kertapati. “Hamba mohon Raden berkenan menemui pemimpin kami Raden Panji Semirang.”
“Baik,” jawab Raden Inu Kertapati tanpa merasa takut namun tetap waspada. Ternyata Raden Inu Kertapati disambut dengan ramah tamah oleh Raden Panji Semirang.
“Lho kok berbeda dengan apa yang kudengar selama ini, bahwa Negeri Asmarantaka adalah negeri para pengacau yang suka menculik orang.” Gumam Raden Inu Kertapati.
“Kabar itu tidak benar, kami, kami hanya mengajak mereka untuk bermukim di negeri kami, kalau tak mau kami tak pernah memaksa.” Kata Raden Panji Semirang.
“Kalau begitu aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Hendak kemanakah Raden?”
“Aku akan menemui calon istriku di Negeri Kediri.”
“Oh, Kediri, saya tahu di sana ada dua orang putri yang cantik, namanya Dewi Candrakirana dan Dewi Ajeng. Raden mau pilih yang mana?”
“Calon istri saya adalah Dewi Candrakirana.” Jawab Raden Inu Kertapati mantap.
Walau baru bertemu Raden Inu Kertapati merasa akrab dengan Raden Panji Semirang. Rasanya ia sudah kenal dekat dengan orang ini. Namun ia lupa dimanakah ia pernah  bertemu dengan wajah yang sepertinya tak asing lagi ini.
Setelah pembicaraan dirasa cukup Raden Inu Kertapati minta ijin untuk meneruskan perjalanan menuju kediri.
“Baiklah Raden, selamat jalan, sampai bertemu lagi.” Kata Raden Panji Semirang.
Sampai di Negeri Kediri mereka disambut dengan penuh suka cita dan sangat meriah.
Tak kurang istri selir Raja Kediri bernama Dewi Liku dan putrinya Dewi Ajeng ikut menyambut kehadiran Raden Inu Kertapati.
Tapi Dewi Candrakirana malah tidak kelihatan.”Kenapa ia tak datang menyambutku?” tanya Raden Inu Kertapati.
“Kanda Dewi Candrakirana sakit ingatan dan telah lama pergi dari istana.” Kata Dewi Ajeng.
Mendengar keterangan itu seketika Raden Inu Kertapati kaget dan jatuh pingsan. Ia segera dibawa masuk ke dalam istana. Dewi Liku ternyata mempunyai kekuatan sihir, atas desakannya maka Raja Kediri memutuskan untuk menikahkan Raden Inu Kertapati dengan Dewi Ajeng.
Dewi Ajeng gembira sekali, dia membayangkan alangkah bahagianya jika dapat bersanding dengan Raden Inu Kertapati yang tampan.
Raja Kediri memerintahkan seluruh punggawa untuk mempersiapkan pesta pernikahan Raden Inu Kertapati dengan Dewi Ajeng. Gapura atau pintu gerbang dihias seindah mungkin.
Panggung kesenian segera didirikan. Di sepanjang jalan menuju istana dihias dengan umbul-umbul dan aneka bunga bermacam warna.
Berbagai jenis makanan dan minuman disediakan. Kamar pengantin dihias dengan indah dan diberi minyak wangi dari jenis yang terbaik. Persiapan benar-benar telah sempurna.
Tetapi rencana jahat Dewi Liku untuk menjodohkan putri Dewi Ajeng dengan Raden Inu Kertapati ternyata tidaklah berjalan mulus.
Tiba-tiba terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan seluruh persiapan pernikahan.
Di tengah kobaran api yang menyala-nyala nampak rombongan Raden Inu Kertapati menaiki kuda bergerak meninggalkan istana.
Di tengah perjalanan barulah pengaruh sihir Dewi Liku lenyap dari pikiran Raden Inu Kertapati.
Pangeran muda ini tersadar dan teringat kepada kekasihnya. Wajah kekasihnya tak jauh beda dengan wajah Panji Semirang. Jangan-jangan Panji Semirang adalah kekasihnya yang sedang menyamar.
“Oh, Dewi Candrakirana dimana sekarang kau berada.”
Ia kemudian mengajak rombongannya untuk segera mencari Dewi Candra Kirana. Tujuan mereka adalah Negeri Asmarantaka dimana Panji Semirang berada.
Ternyata Panji Semirang telah meninggalkan negeri itu. Raden Inu Kertapati memerintahkan anak buahnya terus mencari ke seluruh penjuru, namun tak seorangpun menjumpainya.
Pencarian terus dilakukan, hingga mereka sampai di negeri Gegelang. Raja Negeri Gegelang masih kerabat Raja Jenggala maka Raden Inu Kertapati disambut dengan baik.
Pada saat itu Negeri Gegelang sedang diganggu oleh gerombolan perampok sakti yang dipimpin oleh Lasan dan Setegal. Raden Inu Kertapati dan rombongannya bersedia memberantas para perampok itu, mereka bekerjasama dengan para prajurit kerajaan Gegelang.
Hingga pada suatu hari Raden Inu Kertapati memergoki gerombolan perampok itu di sebuah desa. Raden Inu Kertapati,” kalian boleh pilih, menyerah atau kami binasakan!”
“Hohohooo ... anak muda, lebih baik aku mati daripada menyerahkan diri kepadamu.” Kata pemimpin rampok.
Tanpa buang waktu lagi pasukan yang dipimpin Raden Inu Kertapati segera bergerak menyerbu. Terjadilah pertempuran sengit, korban berjatuhan di pihak para perampok.
Raden Inu Kertapati berhadapan langsung dengan Lasan dan Setegal. Pangeran muda ini bertempur dengan gagah berani. Mengeluarkan segenap kesaktiannya, tidak berapa lama kemudian kedua pempimpin rampok itu roboh ke tanah, berkelojotan lalu mati. Para prajurit Gegelang bersorak-sorai atas kemenangan Raden Inu Kertapati, rakyat menyambutnya dengan gembira.
Raja Gegelang mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam untuk merayakan kemenangan itu. Pada malam ketujuh Raja memanggil seorang ahli pantun. Ahli pantun itu seorang pemuda namun bertubuh gemulai. Ia membawakan  pantun yang ternyata menceritakan perjalanan hidup Dewi Candrakirana dan Raden Inu Kertapati. Raden Inu langsung teringat kekasihnya, ia penasaran. Segera diselidiki siapa sebenarnya pembawa pantun itu, ternyata ia tak lain adalah Panji Semirang alias Dewi Candrakirana sendiri.
Sepasang kekasih itu saling melepas rindu. Dewi Candrakirana bercerita bahwa Dewi Liku yang membuatnya hilang ingatan dan terusir dari istana Daha.
Untunglah ada seorang pertapa sakti yang mau mengobati Dewi Candrakirana sehingga ia sembuh dan berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya.
Raden Inu Kertapati terharu mendengar kisah calon istrinya itu. Esok paginya mereka berangkat ke Negeri Jenggala dan menjadi sepasang suami istri yang bahagia. Pernikahan mereka dilangsungkan dengan pesta meriah dan besar-besaran.

***

 CAADARA SANG PANGLIMA
(CERITA RAKYAT PAPUA)

Dahulu di Papua ada seorang panglima perang gagah berani bernama Wire, ia tinggal di desa Kramuderu. Wire mempunyai seorang anak laki-laki bernama Caadara. Ia sangat senang dan bangga pada anak laki-lakinya itu. Ia berharap, setelah dewasa Caadara dapat menggantikan kedudukannya sebagai panglima perang yang tangguh. Maka, sejak kecil Caadara dilatih bela diri dan segala macam ilmu perang.
Pada suatu hari, Wire ingin menguji kepandaian anaknya. Ia menyuruh Caadara berburu ke hutan yang letaknya tidak jauh dari desa. “Caadara anakku, hari ini engkau harus berburu ke hutan yang terletak di dekat sebuah sungai dekat danau,” kata Wire. Caadara sangat senang mendapat perintah dari ayahnya. Ia segera mengumpulkan sepuluh orang teman dan merencanakan perburuan itu selama tujuh hari.
Rombongan Caadara berangkat ke hutan melalui jalan setapak dan kadang-kadang menembus semak belukar. Setelah sampai di tempat perburuan, mereka beristirahat sebentar sambil mengadakan persiapan.
Di tempat perburuan itu ternyata banyak binatang buruan sehingga mereka berhasil menombak beberapa ekor binatang. Mereka berburu setiap hari. Pada hari pertama sampai dengan hari keenam tidak ada rintangan yang berarti.
Pada hari ketujuh, para pembantu Caadara terkejut karena melihat seekor anjing pemburu. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Caadara. Caadara menangkap firasat adanya bahaya yang mengancam. Katanya, “Anjing pemburu itu memberi tanda bahwa bahaya sedang mengancam kita.”
Caadara memerintahkan keenam perwiranya untuk bersiaga penuh dalam menghadapi musuh yang belum diketahui dari mana arahnya itu. Mereka segera menyiapkan busur, anak panah, kayu pemukul, dan beberapa alat perang lainnya.
Ketika matahari pagi memancarkan sinarnya, Caadara dan anak buahnya berjemur diri untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba terdengar pekikan keras yang menakutkan. Para pembantu Caadara pun ketakutan. Akan tetapi, Caadara dan keenam perwiranya tenang-tenang saja. Mereka tetap waspada. Kemudian, Caadara segera memerintahkan rombongannya untuk membuat benteng pertahanan.
Tiba-tiba muncul lima puluh orang suku Kuala sambil berteriak-teriak. Mereka bermaksud menakut-nakuti dan melemahkan semangat Caadara dan kawan-kawannya, namun Caadara dan para perwiranya tidak terpengaruh teriakan-teriakan itu.
Musuh semakin dekat dan suasana semakin tegang. Kelima puluh musuh itu berlari menyerang Caadara dan anak buahnya dengan tombak dan tongkat pemukul. Caadara memimpin pertempuran itu dengan semangat tinggi. Pertempuran pun semakin seru. Mereka saling serang untuk menjatuhkan lawan.
Caadara mempunyai kepandaian luar biasa dalam berperang. Ia bertempur tanpa menggunakan perisai, tetapi menggunakan parang dan alat pemukul untuk merobohkan lawannya. Dalam waktu singkat, dia berhasil merobohkan dua puluh musuh. Pasukan musuh semakin tidak sanggup menghadapi keberanian Caadara dan anak buahnya. Akhirnya, musuh yang berjumlah lima puluh orang itu hanya tinggal lima orang. Mereka berlari menyelamatkan diri. Berkat keberhasilannya mengalahkan musuh, Caadara makin disegani anak buahnya. Mereka bangga mempunyai panglima seperti Caadara. Tidak henti-hentinya mereka mengelu-elukan Caadara.
Seisi kampung menjadi gempar mendengar berita kemenangan Caadara dan anak buahnya. Ayah Caadara sangat terharu mendengar berita itu, tidak terasa air matanya berlinang.
Malam itu Caadara disambut pesta besar karena kemenangannya. Selain itu, juga diadakan persiapan untuk menyerang suku Kuala karena mereka telah menyerang Caadara.

***
CADAS PANGERAN 

K
alau kita melakukan perjalanan antara Kota Bandung dan Sumedang di Jawa Barat, kita akan melalui daerah bernama Cadas Pangeran. Jalan yang melalui daerah itu memiliki dua sisi berbeda. Sisi yang satu terdiri atas tebing perbukitan, sementara sisi lainnya terdiri atas jurang yang dalam. Jalan yang berliku-liku sejauh lebih kurang tiga kilometer itu ternyata dibuat di daerah yang terdiri atas cadas. Mengapa bagian jalan itu dinamai Cadas Pangeran? Kisahnya memang berhubungan dengan tebing dan jurang cadas serta seorang pangeran yang gagah berani.
Pada tahun 1811 -1816, Indonesia yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda diperintah oleh Marsekal Herman Willem Daendels. Ia terkenal sebagai seorang pemimpin yang keras sehingga sangat ditakuti. Ia dikirim ke Indonesia dalam rangka mempertahankan jajahan Belanda terhadap serangan Inggris. Agar dapat mengirim bala bantuan tentara ke berbagai daerah dengan cepat, Daendels memerintahkan pembuatan jalan dari Anyer di Banten (Jawa Barat) ke Panarukan (Jawa Timur).
Beban pembuatan jalan itu ditakkan di pundak para pemimpin bangsa Indonesia. Para bupati diharuskan menyediakan tenaga kerja dan perbekalan serta peralatan. Mereka terpaksa mengerahkan rakyat untuk melaksanakan pekerjaan berat berat itu dan membekali mereka dengan perlengkapan dan peralatan seadanya. Dapatlah diduga bahwa rakyat sangat menderita, lebih-lebih rakyat Sumedang yang harus membuat jalan melalui bukit-bukit cadas. Karena beratnya pekerjaan, banyak di antara mereka yang sakit dan bahkan meninggal.
Penderitaan mereka itu benar-benar memasygulkan Pangeran Kusumahdinata, bupati Sumedang ketika itu. Tak habis-habisnya beliau memikirkan cara yang mungkin dilakukan untuk meringankan penderitaan mereka. Akan tetapi, cara itu tidak beliau temukan. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan kerja mereka. Beliau memerintahkan agar rakyat berhenti membuat jalan itu.
Perintah beliau itu benar-benar melegakan hati rakyat, tetapi sekaligus menimbulkan kegemparan di kalangan bangsawan. Tindakan Pangeran Kusumahdinata sangat membahayakan, apalagi orang tahu bahwa Daendels terkenal sebagai seorang pemimpin yang keras. Tidaklah sia-sia kalau ia digelari dengan nama Mas Galak. Apakah yang akan terjadi kalau pada suatu ketika Daendels datang untuk memeriksa perkembangan pembuatan jalan itu?
Saat yang dicemaskan itu pun tibalah. Tampaknya Daendels mendapat laporan bahwa rencananya mendapat hambatan di daerah Sumedang. Ia pun segera melakukan peninjauan ke tempat itu. Pangeran Kusumahdinata datang pula ke tempat itu menyambutnya. Ketika mereka bertemu, Pangeran Kusumahdinata menyalaminya dengan tangan kiri sementara tangan kanan beliau memegang  hulu keris.
“Apa artinya ini?” tanya Daendels dengan heran dan marah. “Tuan melihat bahwa rakyat saya berhenti bekerja. Pasti Tuan akan menghukum saya. Akan tetapi, sebelum serdadu Tuan menembak saya, saya dapat membunuh Tuan dulu dengan kiris ini, “ujar sang Pangeran. Mendengar itu Daendels tertegun.
“Mengapa Pangeran memerintahkan mereka berhenti bekerja?” tanya Daendels. “Rakyat saya sangat menderita. Mereka harus melaksanakan pekerjaan yang telalu berat. Kami tidak punya peralatan yang memadai. Saya tidak mau mereka mati disini”.
Seperti Pangeran Kusumahdinata sendiri, Daendels pun adalah seorang pribadi yang bersifat ksatria. Ia memahami maksud Pangeran Kusumahdinata dan merasakan keprihatinannya. Sebagai seorang perwira, Daendels sangat menghargai keberanian Pangeran Kusumahdinata. Ia tidak menghukum pangeran itu, tetapi justru memerintahkan anak buahnya untuk mengerahkan pasukan zeni.
Pasukan khusus dengan perlengkapan modern ini akhirnya menyelesaikan pembuatan jalan di daerah sulit itu.
Jalan yang dibuat pasukan zeni Belanda itu sekarang sudah tidak dipergunakan lagi. Jalan yang menghubungkan Bandung dan Sumedang sekarang adalah jalan baru. Walaupun begitu, jalan itu pun tetap disebut Cadas Pangeran, untuk menghormati Pangeran Kusumahdinata yang siap mengorbankan jiwa demi kepentingan rakyatnya.

 ***

GUNUNG TAMPOMAS

Z
aman dahulu kala tersebutlah sebuah kerajaan, Sumedanglarang namanya, Kerajaan itu aman dan makmur. Penduduknya hidup dengan tenang dan senang. Mereka tidak pernah kekurangan makanan, pakaian, perumahan, atau keperluan-keperluan lainnya.
Kemakmuran itu terutama berkat tanah yang subur. Di sebelah utara ibu kota Kerajaan Sumedanglarang berdirilah sebuah gunung berapi, Gunung Gede namanya. Gunung itu berhutan lebat. Di samping indah dipandang dari kejauhan, hutan itu pun memberi banyak manfaat bagi warga kerajaan. Di musim kemarau, kerajaan tidak pernah kekurangan air. Sebaliknya, di musim hujan, tidak pernah terjadi banjir.
Di samping kesuburan tanahnya, kerajaan dan rakyat Sumedanglarang dianugerahi keuntungan lain. Raja mereka yang masih muda belia adalah orang yang adil dan bijaksana. Sang raja adalah juga seorang perwira yang perkasa dan ditakuti oleh raja-raja lain yang bermaksud jahat dan penjahat-penjahat yang suka mengganggu ketentraman. Beliau pula yang mengajar rakyatnya agar tidak merusak hutan dan mengganggu margasatwa sehingga negeri Sumedanglarang tetap indah dan makmur.
Namun, ketentraman dan kedamaian warga kerajaan tiba-tiba berubah menjadi kecemasan dan ketakutan. Pada suatu tengah malam yang sepi tiba-tiba mereka dibangunkan oleh gempa dan bunyi gemuruh yang dahsyat. Orang-orang berlarian ke luar rumah. Mereka takut rumah mereka runtuh dan akan menimpa serta menindih mereka. Anak-anak berjeritan, demikian pula kaum wanita. Bahkan banyak pria yang pucat dan gemetar.
Setiba di luar rumah, mereka melihat api berkobar-kobar di puncak Gunung Gede. Kobaran api itu semakin besar dan bunyi gemuruh semakin nyaring disertai guncangan gempa yang semakin kuat. Sadarlah mereka bahwa Gunung Gede akan meletus.
Dugaan mereka benar belaka. Keesokan harinya matahari hampir tidak kelihatan. Asap hitam dan debu bergulung-gulung naik ke angkasa dan menutup cahayanya. Hanya kilatan dan kobaran api yang kadang-kadang menerangi alam sekitar.
Melihat peristiwa yang dahsyat dan tidak disangka-sangka itu, sang Raja sangat sedih. Beliau sadar kalau Gunung Gede meletus banyak rakyat akan menjadi korban. Di samping itu lahar akan merusak hutan, sawah dan palawija. Rakyat yang selamat akan menderita karena sumber kemakmuran akan rusak. Akan lama sekali kerajaan dapat bangkit kembali dari kemiskinan dan penderitaan.
Dengan membawa dukacita yang besar itu, beliau memasuki istana. Di ruangan khusus yang sepi beliau bersemadi, memohon perlindungan dan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Berhari-hari beliau berdoa, lupa makan maupun tidur. Pada suatu ketika, karena lemah dan lapar, beliau pingsan.  Di dalam pingsannya beliau seakan-akan bermimpi. Beliau melihat seorang tua yang agung datang membangunkan beliau dan membantu beliau duduk. Orang tua itu berkata, “Hai, Raja yang mulia, kalau Anda hendak menyelamatkan rakyat dan kerajaan, masukkanlah keris emas pusaka nenek moyangmu ke dalam kawah Gunung Gede.”
Melihat sang Raja pingsan, gemparlah isi istana. Seorang dukun dipanggil dan diminta menyadarkan sang Raja. Setelah membaca mantra dan memerciki wajah sang Raja dengan air sejuk, dukun itu berkata, “Sadarlah Gusti, warga kerajaan mengharapkan pertolongan Gusti.” Sang Raja seakan-akan mendengar perkataan itu. Beliau siuman, lalu duduk. “Saya harus segera berangkat ke kawah Gunung Gede dan memasukkan keris pusaka, “Kata sang Raja.
Semua yang mendengar terkejut dan cemas. Mereka menyangka bahwa sang Raja belum sadar benar. Mereka pun menyadari bahwa mendaki Gunung Gede dan mendekati kawahnya sangat berbahaya. Mereka memohon agar sang Raja berbaring kembali dan beristirahat.
“Tidak,” kata sang Raja,”Saya harus mencegah meletusnya Gunung Gede.” Lalu, beliau bangkit dan mengambil keris pusaka yang bersarungkan emas bertahtakan permata. Semua yang hadir berusaha mencegah niat Raja. “Gusti, mendaki Gunung Gede pada saat ini berarti menantang maut.” Yang lain berkata, “Gusti, keris pusaka itu warisan nenek moyang Gusti. Janganlah Gusti membuangnya ke dalam kawah. Hargai dan hormatilah pusaka kerajaan itu.”  Akan tetapi, sang Raja tidak menghiraukan kata-kata mereka dan segera berangkat meninggalkan istana.
Dengan menunggang kudanya yang kuat dan gagah, perjalanan ke kaki Gunung Gede ditempuh beliau dalam waktu singkat. Kemudian beliau mendaki tebing gunung yang curam. Kadang-kadang beliau harus berpegang pada akar-akar pohon, kadang-kadang pada cabang dan ranting. Sementara itu asap panas serta semburan abu dan batu-batu besar kecil menerpa beliau. Akan tetapi, beliau terus berusaha. Walaupun lambat, akhirnya beliau tiba juga di tepi kawah. Udara luar biasa  panasnya. Asap hitam menyebabkan sekeliling gelap semata. Hanya kadang-kadang saja nyala api menerangi sekelilingnya disertai bunyi gemuruh yang dahsyat memekakkan telinga. Namun, semua itu tidak membuat sang Raja mundur.
Setelah tegak berdiri di pinggir kawah  yang bergolak itu, sang Raja mengambil keris dari pinggangnya. Di dalam kegelapan itu sarung emas yang bertahtakan permata memancarkan cahayanya. Sang Raja berkata dalam hati, “Keris ini sangat indah dan merupakan pusaka yang tidak ternilai harganya. Saya mohon nenek moyangku merelakannya. Saya harus menolong rakyat saya, warga Kerajaan Sumedanglarang.” Lalu, beliau melemparkan keris pusaka itu ke dalam kawah.
Suatu keajaiban terjadi. Kawah yang semula seperti mulut binatang buas yang sedang marah berangsur-angsur menjadi tenang. Akhirnya bunyi gemuruh berhenti bertepatan dengan menghilangnya asap hitam, semburan batu-batuan, dan kilatan api. Udara pun makin lama makin terang. Angin sejuk bertiup menghalau awan hitam. Langit menjadi biru. Terdengarlah burung mulai bernyanyi. Kedamaian pun kembali menghiasi hutan dan lembah-lembah.
Sang Raja berlutut dan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Lalu, mulai menuruni tebing Gunung Gede. Beliau pulang ke ibu kota Kerajaan Sumedanglarang dan disambut rakyat dengan gembira dan rasa terima kasih. Sejak peristiwa itu, Gunung Gede tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda akan meletus lagi. Bahkan akhirnya kawahnya pun padam. Sementara itu namanya pun berubah. Orang menyebutnya Gunung Tampomas, yaitu gunung yang menerima emas.  Sampai sekarang gunung itu berdiri dengan anggun di sebelah utara kota Sumedang.

***
TELAGA WARNA

Z
aman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang tenteram dan damai, bernama Kutatangggeuhan. Rajanya yang adil bijaksana bernama Prabu Suwarnalaya. Beliau memerintah kerajaan didampingi oleh permaisurinya bernama Ratu Purbamanah. Karena kebijaksanaan sang Raja dan karena anugerah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dalam bentuk tanah yang subur, kerajaan pun sangatlah makmur. Tak ada warga kerajaan yang kekurangan dalam hal sandang, pangan, maupun papan. Semuanya serba berkecukupan. Namun, baik Raja maupun Permaisuri dan bahkan rakyat, merasa ada sesuatu yang kurang. Raja dan Permaisuri belum dianugerahi seorang putra ataupun putri walaupun mereka sudah cukup lama menikah. Itulah sebabnya sang Raja sering termenung dan Permaisuri berurai air mata. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk penggunaan ramuan-ramuan yang dimakan baik oleh sang Raja maupun Sang Permaisuri. Sejumlah besar dukun telah diundang untuk membacakan mantra-mantra. Akan tetapi, semua upaya itu tampaknya sia-sia belaka.
Beberapa rakyat di kerajaan pernah menyarankan usul yang bijaksana kepada Raja dan Permaisuri. “Gusti Raja dan Gusti Ratu, mengapa tidak memungut anak yatim piatu saja? Di kerajaan banyak anak yatim piatu, diantaranya putra-putri prajurit dan perwira kerajaan yang gugur mempertahankan kerajaan,” kata mereka. Akan tetapi, Raja dan Permaisuri tidak mau mendengar usul itu. Anak pungut berbeda dengan anak sendiri, kata beliau satu sama lain.
Ketika kesedihan sudah tidak tertahankan, sang Raja memutuskan untuk bertapa. Lalu, bertapalah beliau di tempat sunyi di dalam hutan. Berminggu-minggu beliau bertapa hingga pada suatu ketika, antara sadar dan tidak beliau mendengar suara, “Hai Prabu Suwarnalaya, apakah yang Anda inginkan hingga Anda bertapa?” “Hamba menginginkan anak,” ujar sang Raja.”Bukankah Anda dapat memungut anak yatim piatu?” kata suara itu pula. “Hamba menginginkan anak sendiri, darah daging sendiri, “ujar Raja pula. “Jadi Anda hanya menginginkan anak sendiri ?” sahut suara itu lagi. “Ya, bagaimananapun keadaannya, anak sendiri lebih baik daripada anak pungut,” jawab sang Raja.” Baiklah kalau begitu, sekarang pulanglah,” kata suara itu. Maka sang Raja pun pulang.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, sang Permaisuri pun hamil. Seluruh kerajaan pun bersuka ria. Banyak warga kerajaan mengirim berbagai hadiah kepada raja dan ratu mereka sebagai ungkapan kegembiraan itu. Setelah saatnya tiba, sang Permaisuri pun melahirkan seorang bayi putri. Kelahiran sang Putri disambut dengan pesta tujuh hari tujuh malam. Sang Putri diberi nama Putri Gilang Rinukmi. Sekali lagi warga kerajaan mengirimkan berbagai hadiah yang mahal-mahal bagi sang Putri.
Semakin besar sang Putri semakin cantik pula. Sementara itu, sebagai anak satu-satunya dan sangat diinginkan kehadirannya oleh kedua orang tua mereka dan oleh rakyat, sang Putri sangatlah dimanjakan. Akibatnya, sang Putri jadi remaja putri yang berperangai buruk. Segala keinginannya harus dituruti. Kalau sekali ditentang, ia suka uring-uringan. Ia pun suka memerintah pelayan istana seakan-akan ia sendiri raja atau ratu. Kalau tidak setuju dengan pelayanan mereka, biasanya ia marah. Tak jarang ia bertindak kasar dan mempergunakan kata-kata yang tak layak keluar dari mulut seorang putri.
Walaupun begitu, Raja, Permaisuri, dan rakyat tetap mencintainya. Apalagi semakin dewasa sang Putri semakin cantik pula. Pada usia tujuh belas tahun, tidak ada putri lain atau gadis di kerajaan yang menandingi kecantikannya. Pada usia itu pula, ketika sang Putri menginjak usia dewasa, rakyat mengumpulkan kekayaan mereka untuk dapat memberikan hadiah kepadanya. Dari berbagai pelosok kerajaan datang sumbangan-sumbangan berupa berbagai barang berharga seperti uang emas, perhiasan-perhiasan, dan permata. Barang-barang berharga itu kemudian disampaikan kepada Raja. Raja berterima kasih kepada rakyatnya dan menyatakan kegembiraannya melihat kecintaan rakyat kepada putrinya. Walaupun begitu beliau tidak mengambil semua hadiah itu. Beliau mengusulkan agar barang-barang berharga disimpan di perbendaharaan negara sebagai milik umum yang dapat dipergunakan setiap saat diperlukan untuk kepentingan umum. Untuk sang Putri, beliau hanya mengambil beberapa perhiasan emas dan permata. Perhiasan ini beliau serahkan kepada tukang emas untuk dibuat menjadi perhiasan baru yang lebih besar dan lebih indah. Dengan senang hati seorang empu yang sangat pandai membuat perhiasan menciptakan sebuah kalung yang sangat indah. Kalung itu menggambarkan tanaman dengan daun-daun dari emas dan perak, serta bunga-bunga dan buah-buahannya dari permata yang berwarna-warni. Tak ada perhiasan seindah kalung itu dimana dan kapan pun di dunia karena tidak ada rakyat yang pernah mencintai putri raja mereka seperti warga Kerajaan Kutatanggeuhan.
Seluruh warga kerajaan benar-benar menunggu saat penyerahan kalung itu kepada sang Putri yang ketujuh belas. Berkumpullah warga Kutatanggeuhan di halaman istana. Mereka memandang ke arah anjungan, tempat Raja dan keluarga istana akan hadir. Tak lama kemudian Raja dengan diiringi Permaisuri dan para bangsawan pun keluarlah dari dalam istana. Raja melambaikan tangan kepada rakyatnya dan disambut sorak-sorai gembira oleh mereka. Sorak-sorai membahana kembali ketika Putri Gilang Rinukmi muncul diiringi belasan orang inang pengasuh. Sang puti cantik bagaikan bidadari. Begitu cantiknya sang Putri hingga orang-orang terpesona dan berhenti bersorak-sorai. Dalam keheningan itu sang Raja berkata, “Warga Kutatanggeuhan yang baik, sebelum upacara selamatan untuk menyambut usia tujuh belas tahun anakku, saya akan menyampaikan hadiah kalian untuk Putri Gilang Rinukmi. Biarlah Tuan Putri tahu betapa besar cinta kalian kepadanya.”Mendengar itu rakyat pun bersorak-sorai kembali. Setelah semua tenang kemudian sang Raja membuka kotak berukir yang dibuat dari kayu cendana, lalu mengeluarkan kalung buatan dari Empu. “Anakku Gilang Rinukmi, ini adalah hadiah dari warga kerajaan sebagai ungkapan kegembiraan mereka karena kau sudah menginjak dewasa. Kalung ini adalah ungkapan kasih sayang mereka kepadamu. Pakailah supaya mereka melihat bahwa kau menerimanya dengan gembira.”Sang Putri menerima kalung itu, lalu melihat-lihatnya sejenak. “Jelek sekali. Saya tak suka,”katanya seraya melemparkan kalung itu ke muka sang Raja. Kalung itu putus bercerai berai. Semua hadirin membisu menyaksikan peristiwa itu. Tak ada yang bergerak atau dapat berkata. Semua seperti membeku.
Di dalam keheningan itu terdengarlah Permaisuri menangis. Air mata beliau berderai membasahi wajah beliau yang sedih. Rakyat banyak mulai menangis pula, terutama kaum wanita. Pada saat yang sama, suatu keajaiban terjadi. Dari dalam bumi keluarlah air jernih, seakan-akan bumi pun ikut menangis. Air itu keluar dari mata air yang besar dan dalam waktu sekejap telah membentuk sebuah danau. Danau itu semakin luas dan akhirnya menenggelamkan Kerajaan Kutatanggeuhan dengan segala isinya.
Danau itu sekarang sudah surut airnya, yang tertinggal hanya sebuah danau kecil yang ada di tengah-tengah hutan di daerah Puncak, Jawa Barat. Nama danau itu adalah Telaga Warna. Kalau hari terang air telaga yang jernih itu berwarna-warni dengan indahnya. Keindahan yang penuh warna itu adalah bayangan hutan di sekeliling telaga dan langit biru di atasnya. Ada orang yang mengatakan bahwa warna-warni itu datang dari permata yang bercerai-berai dari kalung Putri Gilang Rinukmi dari Kerajaan Kutatanggeuhan. 


***

ASAL USUL DESA SEMAMPIR
(Wilayah Kecamatan Reban Kabupaten Batang)

P
ada abad 19 waktu Indonesia masih dijajah oleh Belanda, rakyat Indonesia sangatlah menderita. Kehidupan rakyat sangatlah tertindas oleh ulah penjajah. Kebodohan dan kemiskinan dirasakan betul oleh rakyat kita. Semua hasil pertanian dikuras oleh penjajah dan dibawa ke negeri kincir angin,  bangsa Indonesia diperas tenaganya untuk kepentingan penjajah. Bekerja seharian diberi upah sangatlah tidak layak, makan sangat kurang dan tidak bergizi. Melihat keadaan seperti itu ada salah seorang Pangeran yang ingin membebaskan negeri ini dari penindasan Belanda. Pangeran tersebut adalah Pangeran Diponegoro dari Mataram (Yogyakarta).
Tersebutlah Pangeran Diponegoro beserta pasukan atau prajuritnya mulai menyusun siasat untuk berperang melawan penjajah. Diantara prajurit Pangeran Diponegoro terdapat seorang abdi/prajurit yang bernama Ki Buyut Proyononggo. Ki Buyut Proyononggo ini yang nantinya menjadi cikal bakal yang menamai Desa Semampir Kecamatan Reban. Setelah siasat disusun dengan rapi dan disinyalir tidak ada anggota prajurit yang menjadi kaki tangan Belanda, maka dimulailah penyerangan terhadap penjajah. Pada waktu itu markasnya di Goa Selarong yang terletak jauh dari kota dan tidak mudah diketahui musuh.
Penyerangan pertama berhasil dan dilanjutkan dengan penyerangan berikutnya, yang membuat kalang kabut pihak Belanda. Pada saat perang Pangeran Diponegoro berkecamuk, ratusan korban jiwa berjatuhan, baik dari pihak rakyat maupun tentara Belanda. Tetesan darah para pahlawan yang gugur bagaikan air bah yang membasahi bumi pertiwi. Suara meriam dan tembakan dari pihak musuh memecah kesunyian malam. Sedangkan pasukan kita hanya bersenjatakan seadanya, badik, keris, dan bambu runcing tetapi tidak mengurangi  semangat juang pasukan kita untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perang berlangsung antara tahun 1825 – 1830, selama hampir lima tahun Pangeran Diponegoro beserta anak buahnya melawan penjajah. Keluar masuk hutan, naik gunung, turun gunung untuk bersembunyi dan menyusun siasat perang untuk penyerangan selanjutnya. Pangeran Diponegoro beserta pasukan mendapat kemenangan yang gemilang, membuat pihak Belanda kalang kabut menghadapi Pasukan Diponegoro. Sampai akhirnya pihak Belanda berniat licik untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Akhirnya niat Belanda tercapai menangkap Pangeran Diponegoro dengan jalan pura-pura diajak berdamai. Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makasar Sulawesi. Setelah Pangeran Diponegoro diasingkan, para prajurit tersebar menyelamatkan diri ke daerah Kedu, Yogyakarta dan sekitarnya.
Dari sekian banyak prajurit Pangeran Diponegoro seorang diantaranya adalah Ki Buyut Proyononggo lari ke daerah Kedu untuk menyelamatkan diri. Beliau dikenal memiliki ilmu yang tinggi dan sering melakukan tirakat, puasa Senin-Kamis, puasa mutih (tidak makan garam). Untuk menghindari pengejaran Belanda, Buyut Proyononggo menyamar membaur dengan masyarakat. Bila malam tiba Buyut Proyononggo tidak tidur di dalam rumah, tetapi tidur di atas pohon besar dan tinggi agar tidak kelihatan oleh musuh. Dalam pengembaraannya Buyut Proyononggo berjalan kaki keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, menuruni tebing dan mendaki gunung. Jalan yang dilalui berupa hutan belantara yang masih lebat.  Bisa dibayangkan  betapa berat perjalanan yang dilakukan oleh Buyut Proyononggo dahulu kala. Hanya ada jalan setapak yang masih berupa tanah dengan bebatuan yang licin, binatang buas siap menghadang setiap saat mengintai kelengahan si pejalan kaki. Tetapi Buyut Proyononggo tidak mengenal kata menyerah atau putus asa. Dalam perjalanannya Ki Buyut selalu diikuti mata-mata Belanda yang mencari tahu keberadaan Ki Buyut. Agar tidak diketahui mata-mata Belanda, Ki Buyut mempunyai siasat kalau malam tiba, Ki Buyut tidur di dahan pohon besar, tubuhnya diletakkan sedangkan tangan dan kakinya menggantung layaknya seperti kalong alias semampir di dahan. Itu dilakukan setiap malam tiba. Dengan siasat ini Ki Buyut Proyononggo tidak hanya berhasil mengelabuhi mata-mata Belanda tetapi juga menghindari serangan binatang buas.
Pada suatu hari perjalanan Ki Buyut Proyononggo sampai di suatu tempat yang masih sepi dan hanya ada beberapa rumah penduduk, desa itu masih belum mempunyai nama. Ki Buyut Proyononggo beristirahat untuk beberapa saat di tempat itu dan berbaur dengan penduduk dusun itu, tetapi tidurnya tetap di atas pohon alias semampir. Karena dirasa cocok dengan penduduk dan yakin tidak ada mata-mata yang mengikutinya, akhirnya Ki Buyut Proyononggo memutuskan untuk menetap di dusun itu. Sebagai penduduk baru Ki Buyut Proyononggo selalu menolong orang-orang yang membutuhkan. Ki Buyut juga mengajar mengaji kepada penduduk sekitar, juga mengobati orang yang sakit. Hampir setiap hari ada saja orang yang meminta bantuan dengan senang hati Ki Buyut Proyononggo membantu.
Karena seringnya bergaul dengan penduduk sekitar, Buyut Proyononggo semakin dekat dengan penduduk bahkan seperti keluarga sendiri. Demikian pula warga sekitar sangat terbantu dengan kehadiran Ki Buyut Proyononggo seperti pemimpin bagi mereka yang selalu mengayomi dan menolong warga sekitar.
Untuk menghilangkan kesepian karena hidup seorang diri tanpa saudara, akhirnya Ki Buyut menikahi gadis desa itu dan mempunyai keturunan yang sampai saat ini keturunan Ki Buyut Proyononggo sudah keturunan yang keenam. Sesudah usianya sudah tua Ki Buyut melakukan semedi dengan cara semampir di dahan pohon selama 40 hari. Di dalam semedi itu tak jarang Ki Buyut Proyononggo mendapat gangguan dari makhluk halus atau sejenisnya. Sampai akhirnya Ki Buyut dapat menyelesaikan semedinya sampai 40 hari.
Karena bertapa Ki Buyut Proyononggo dengan cara semampir di dahan pohon, maka sejak saat itu desa itu diberi nama “SEMAMPIR”. Sampai akhirnya Ki Buyut Proyononggo meninggal di Desa Semampir dan dimakamkan di desa itu pula. Sampai sekarang makamnya dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Semampir adalah sebuah desa yang terletak di sebelah utara desa Reban kurang lebih jaraknya 1,5 Km. Demikian kisah terjadinya Desa Semampir.

***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar